Thursday

Sulitnya Memperjuangkan Cinta Karena Berbeda Taraf Hidup

SUTAN MINANG - "Kekuatan cinta di antara mereka berdua lah yang membuat kami bisa terlahir ke dunia ini. Taraf hidup yang berbeda tak menyurutkan niat mereka untuk bersatu dan mengarungi biduk rumah tangga bersama-sama". 

Demikian ketipan dari alur cerita saya kali ini. 

Saya di lahirkan di sebuah desa yang terletak di Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Lebih tepatnya di Kenagarian Air Dingin. 

Saya memiliki kedekat luar biasa dengan keluarga dari ayah (bako). Sewaktu masih balita hingga menduduki bangku Sekolah Dasar (SD), saya sering bermain, bermalam, dan bahkan menghabiskan masa kecil di rumah bako ini. 

Kedekatan dengan bako tak bisa diukur, meski melanjutkan pendidikan ke luar daerah dan bahkan saat ini merantau dan bekerja di Pekanbaru, bako selalu menjadi rumah kedua yang dikunjungi setelah rumah dari kedua orangtua ketika saya balik kampung.
Baiklah, kita masuk ke inti cerita.

Saat itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Saya tak begitu ingat saat itu kelas berapa, yang pasti belum sampai kelas enam. Suatu malam saya tidur di rumah bako,  seperti biasa kakak pertama dari ayah (Mak Uwo) selalu memberikan cerita-cerita menyenangkan guna mengantar tidur kami. 

Malam itu, tanpa diminta tiba-tiba beliau menceritakan betapa kerasanya perjuangan kedua orangtua saya untuk bisa bersatu menjadi pasangan suami istri hingga saya, kakak dan adik-adik terlahir ke dunia ini.

Mengawali ceritanya, Mak Uwo menyebutkan bahwa sebelum kedua orang tua saya dipertemukan, ayah saya berencana akan menikah dengan salah satu perempuan, entah siapa itu.

Niat baik itu sudah bulat, tapi karena sesuatu dan beberapa hal, membuat semuanya batal begitu saja.
Ibu saya menghabiskan waktu remajanya di daerah Padang Aro, Kabupaten Solok Selatan (Solsel). Ikut orangtuanya (nenek saya) bekerja dan mencari kehidupan disana. 

Meski besar dan hidup di tempat negeri orang, namun nenek tak melupakan daerah asal. Sesekali mereka pulang guna melihat dan bersilitaruhmi dengan sanak saudara di kampung halaman (Air Dingin). 

Suatu ketika, mungkin karena sudah jodoh, ayah bertemu dengan ibu pada saat moment pulang kampung. Saling berkenalan hingga akhirnya memiliki kedekatan. 

Hati yang sudah menyatu, kasih sayang yang telah terjalin, membuat mereka yakin akan lebih bahagia jika bersama mengarungi biduk rumah tangga. 
Niat kedua orangtua saya itu tak mendapat sambutan baik dari sang Nenek. Mendengar kabar rencana ayah dan ibu untuk menikah, membuat nenek langsung bergegas balik ke Padang Aro.

"Saya tidak setuju, saya sudah siapkan orang yang siap menikah dengan mu di Padang Aro yang lebih pantas dan cocok. Mengapa kamu pilih suami tukang angkat batu, di Padang Aro ada colon yang lebih baik," demikian ungkap kata sang nenek yang saya dengar dari cerita Mak Uwo di malam itu.

Saya sangat fokus dan begitu terharu mendengar kisah ini. Pikiran menerawang, membayangkan betapa sulitnya orangtua saya berjuang.

Ibu saya kekeh dan bersikeras untuk tetap bisa bersama dengan ayah, meski di lain hal nenek saya terus memaksa agar ibu tetap kembali pulang ke Padang Aro, Solok Selatan.

Kata Mak Uwo, ayah saya, orang tua, dan keluarganya yang lain begitu sadar bahwa sakit dan sulitnya kehidupan yang membuat nenek saya menentang hubungan itu. 
Kasih sayang yang telah tumbuh, hati yang sudah benar-benar yakin satu sama lain, membuat mereka akhirnya bersatu. Tapi masih ada batu karang penghadang.

Ketika nenek saya bergegas untuk balik ke Padang Aro, kemudian menunggu bus di tepi jalan lintas, disitulah cerita mengharukan terjadi. 

Ayah saya ikut mengantar nenek dan ibu menunggu bus. Ketika mobil datang, ibu malah bersikiras untuk tidak mau naik, beliau tegas dengan pendiriannya untuk bisa bersatu membangun rumah tangga bersama ayah.

Nenek begitu geram dan beliau sangat marah. 

"Tidak boleh, kita harus balik ke Padang Aro. Sudah ada calon suami yang lebih baik dari tukang angkat batu itu, kita harus balik, bus sudah menunggu," ungkap Mak Uwo sembari saya membayangkan seperti apa situasi kala itu.

Nenek memegang pergelangan tangan kiri dari ibu dengan kedua tangannya. Ibu saya tetap kekeh hingga tangan kanannya berpegangan ke salah satu tumpukan rumput yang batangnya sangat kuat. 

Terjadilah terik ulur. Bahkan kekuatan nenek menarik pergelangan tangan ibu, membuat tumpukan rumput itu pun putus.

Ibu saya menangis, memohon sambil bersimpuh agar hubungannya dengan ayah direstui.

Mak Uwo pun bilang, betapa ramainya masyarakat melihat kajadian kalai itu. Ibu saya saat itu terus menangis, ayah tak bisa berbuat apa-apa karena beliau sangat sadar kondisi hiduplah yang membuat mereka seakan tak bisa bersama.

Karena saat itu masyarakat di sekitar begitu ramai, akhirnya sang nenek sedikit mereda, sehingga niat awal untuk segara balik ke Padang Aro pun batal.

Singkat cerita, kemauan yang sama-sama kuat serta kayakinan akan bahagia jika hidup bersama antara kedua orangtua saya, akhirnya nenek pun merestui hubungan itu dan akhirnya mereka pun dinikahkan. Walau begitu, bukan berarti nenek sudah menerima sepenuhnya keberadaan ayah. Kehidupan yang masih sulit membuat ayah harus ekstra berjuang agar bisa mengambil hati nenek untuk bisa diakui sebagai menantu.
Kata Mak Uwo, memang butuh waktu lama agar ayah bisa menagmbil hati nenek. Namun karena ayah adalah seorang yang gigih dan mau bekerja keras memperbaiki taraf hidup, keberadaannya pun akhirnya diterima. Apalagi sejak ibu sudah memiliki momongan, yaitu kakak pertama saya, hingga sampai saat ini kedua orangtua saya sudah melahirkan 9 orang anak, termasuk saya anak ke 5.

Demikian cerita singkat ini. Maaf cuma ingin berbagi. 

Terimakasih

Salam dari Blogger kece Hendri Gusmulyadi

Share:

0 comments: